“Senja di Ujung Sekolah”

BY : Irma P

Hari itu, matahari mulai turun perlahan.
Dari balik jendela kelas yang setengah terbuka, cahaya senja menyusup masuk, menyentuh meja-meja kayu yang mulai sepi.

Ibu IP masih duduk di kursinya.
Di tangannya, ada setumpuk buku tugas yang belum selesai ia koreksi.
Matanya lelah, tapi senyumnya tetap sama.

Di luar sana, anak-anak sudah pulang. Tapi pikirannya masih tertinggal di ruang ini — tentang Dimas yang hari ini diam saja, tentang Wulan yang untuk pertama kalinya berani menjawab, meski masih salah.

“Tidak apa-apa,” batin Ibu IP. “Memahami butuh waktu. Sama seperti senja yang tak pernah tergesa.”

Ia teringat masa lalu. Dulu, ia pun seorang murid biasa — nilainya tak menonjol, tapi ada satu guru yang selalu percaya padanya. Yang tak pernah marah saat ia gagal. Yang selalu berkata: “Kamu bisa, kalau kamu mau terus mencoba.”

Dan sekarang, giliran ia memberi cahaya yang sama.

Pendidikan bukan soal siapa yang tercepat.
Bukan tentang siapa yang juara, siapa yang hafal paling banyak.
Tapi tentang siapa yang tumbuh... dan siapa yang sabar menunggunya tumbuh.

Sama seperti senja.
Ia tak pernah datang tergesa, tapi ia selalu memberi warna pada hari yang hampir selesai.

Di ujung waktu, anak-anak mungkin akan lupa rumus-rumus yang diajarkan.
Tapi mereka akan ingat bagaimana rasanya dipercaya, didengarkan, dan diberi harapan.

Dan itulah cahaya pendidikan.
Bukan sekadar terang di kepala —
tapi juga hangat di dalam hati.

Hari mulai gelap.
Ibu IP menutup buku terakhir, berdiri pelan, dan menatap langit yang berubah jingga.
Ia tahu, esok masih ada.
Dan ia akan datang lagi, membawa senja kecilnya sendiri — untuk kembali memberi cahaya.

Karena baginya, jadi guru bukan tentang mengajar hari ini.
Tapi tentang menyalakan masa depan.
Perlahan. Tapi pasti.



Puisi 

Puisi: “Senja di Ujung Sekolah”

Di ujung hari yang mulai letih,
matahari perlahan pulang ke peraduan,
cahayanya menyelinap masuk ke kelas sepi,
menyapa meja, papan tulis, dan sisa tawa tadi siang.

Seorang guru duduk diam,
di antara tumpukan tugas yang belum rampung,
di tangannya ada coretan,
di hatinya ada harapan.

Ia tak mengejar sorak atau tepuk tangan,
karena baginya… satu anak yang tumbuh,
lebih berarti dari seribu angka yang tinggi.
Ia tahu: memahami butuh waktu,
dan belajar… adalah proses menjadi cahaya.

Ia ingat Dimas yang hari ini murung,
dan Wulan yang salah menjawab,
tapi berani mengangkat tangan.
Itu sudah cukup.
Itu tanda mereka bergerak.

Pendidikan bukan perlombaan,
tapi taman yang harus disiram dengan sabar.
Bukan siapa yang paling cepat berbunga,
tapi siapa yang tidak berhenti bertumbuh.

Seperti senja,
yang datang perlahan,
tak pernah sama,
tapi selalu memberi warna.

Dan ketika malam tiba,
murid-murid mungkin lupa pelajaran,
tapi tak akan lupa rasa —
rasa dipercaya,
rasa dicintai,
rasa diberi waktu untuk gagal… dan kembali mencoba.

Maka di ruang yang sepi itu,
senja tak hanya jatuh di langit,
tapi juga di hati seorang guru,
yang pulang bukan karena tugasnya selesai, 

tapi karena harinya sudah cukup memberi cahaya. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama